1.
EPISTEMOLOGI
Latar Belakang Lahirnya Filsafat Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat
yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan
akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis,
orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia
dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke
krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai
krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya
atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya
eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat
yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama
yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian
merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang
mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak
mampu memberikan makna pada kehidupan.
Tokoh-tokoh
aliran Filsafat Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini
cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers,
Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis
membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu
Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1.
Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan
ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia
menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam
kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan
aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu
pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan
buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya
ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam
keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma
dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific
Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada
kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan
Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah
Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian
Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).
Ide-ide
pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
A.
Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi
penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan
analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan,
keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918,
terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan
filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard
mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang
Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu
memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama
Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya
menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia
Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus
(ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti
pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan
Tuhan Yang Maha Kuasa
B. Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis
tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi
dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.
1. Eksistensi estetis
Menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam
lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat
dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap
hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu.
Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman
yang menentukan.
2. Eksistensi etis
Setelah manusia menikmati fasilitas
dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup,
manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus
memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai
contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur
perkawinan (etis).
3. Eksistensi religious
Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi
sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang
absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia.
Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani
lewat iman religius.
4. Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara
pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan
manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas
akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati
makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa
dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu
loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil
langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama
Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama
Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila
seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran
atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga
salah secara mutlak.
2. Jean Paul Sartre
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di
Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar
Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan
dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini
memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada
negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia
sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia
justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak
percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12
tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan
untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre
tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa
nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu
lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri.
Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu.
Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon
dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu
ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia
menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang
filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini
membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan
Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat
mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah
Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.
Ide-ide
pokok Sartre adalah sebagai berikut:
A.
Tentang
Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk
membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu
mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang
jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel
semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism
(1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi
dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia
lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas
tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan.
Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil
kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak
yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai
dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh
karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar
ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti
apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre
mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada
sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi
pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah
suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan
bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan
subyektifitas manusia.
B. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
B. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya
monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada
dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a.
L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi
sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga
paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu
hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai
masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.
L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa
dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada
dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi
di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa
menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang.
Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh
mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
C.
L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya
dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan
dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu
tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam
kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang
menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
D. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang
terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai
kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat
keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri,
teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar
mengenai diri sendiri.
E.
Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih
dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan
definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara
ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep
keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah
seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang
kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark
sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat
tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal
kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin
dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa
depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
2. ONTOLOGI
Pengertian aliran filsafat eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan
kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya
eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik
filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan
sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan
pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal
dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara
berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani,
ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya,
jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan
membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan
filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara
berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan
pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam
dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di
dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya
itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia
mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek.
Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya
disebut obyek.
3. AKSIOLOGI
Implikasi Aliran Filsafat
Eksistensialisme
Dalam Dunia
Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan
individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang
sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap
nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan
karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama,
yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan
kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan”
manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Berikut impilkasi aliran
filsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu
agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu
memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan
dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secara umum.
Kaum ekstensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah
hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “Kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memeberi para siswa kebebasan individual
yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata
pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran
merupakan materi dimana individu akan dapat menemuian dirinya dan kesadaran
akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata
pelajaran IPA, Sejarah, Sastra, Filsafat, dan Seni. Bagi beberapa anak,
pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi
yang lainnya mungkin saja bisa Sejarah, Filsafat, Sastra, dan lain sebagainya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar
pada humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu
dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus
didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembnagkan
keterampilan yanag dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
2. Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar
eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”.
Dialog ialah percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku”
dengan “engkau” . sedangkan lawan dai dialog ialah suatu “paksaan”, dimana
seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, memandang orang lain
sebagai objek. Menurut Buber, kebanyakan pendidikan merupakan paksaaan. Anak
dipaksa menyerah pada kemauan guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel,
dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya, Buber mengemukakan, hendanya guru jangan
disamakan dengan seorang instruktur, karena ia hanya akan merupakan perantara
yang sederhana antara subjek mater dengan siswa. Kalau guru dianggap sebagai
instruktur, ia akan turun martabatnya, hanya sekedar alat untuk mentransfer
ilmu pengetahuan, dan murid akan menjadi hasil dari transfer itu. Pengetahuan
akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari
pengetahuan itu.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak
dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan guru dengan murid
sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada murid, harus
menjadi bagian dari pengaaman pribadinya, sehingga guru akan berjumpa dengan
anak sebagai pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru, tidak
lagi merupakan sesuatu yang diberikan kepada murid, melainkan merupakan suatu
aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan
seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberi instruksi. Guru hadir
dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi
tentang mata plajaran. Diskusi ialah metode utama dalam pandangana
eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang
pelajaran. Sekolah ialah suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan
teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya
Guru hendaknya memberi semangat kepada murid untuk
memikirkan dirinya didalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang
dimiliki murid, dan mengajukan ide-ide lain, dan membimbingnya untuk memilih
alternatif. Maka siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi kepada
manusia melainkan dipilih oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, siswa harus
menjadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar